menujumu
“Halo? Bram? Udah sampai mana? Acaranya jam delapan kan?”
“Iya. Sorry, barusan ada tamu. Iya. Tunggu aku ya, aku sedang menujumu.”. Suara bising sedikit terdengar, menandakan bahwa Bram memang benar-benar sedang dalam perjalanan.
Aku segera menutup telepon. Bagaimanapun juga, anjuran bapak polisi untuk tidak menelepon saat berkendara itu ada benarnya.
***
Tepat pukul 19.35 WIB kami tiba di lokasi. Alhamdulillah, masih ada waktu untuk berkenalan dengan beberapa teman Bram.
Suasana ramai sekali. Aku berusaha tampil sewajarnya. Jujur saja, suasana yang terlalu ramai memang membuatku sedikit tidak nyaman. Dan selama ini, aku lebih tertarik menghabiskan waktu di dalam kamarku sekedar membuat catatan kecil, menulis diary atau membaca novel-novel yang kupinjam dari perpustakaan dekat rumahku. Kalau pun pergi menonton di bioskop, itupun karena diajak Dony. Dan itu terjadi terakhir kalinya hampir setengah tahun yang lalu.
Bram menggamit lenganku, menarikku lebih dekat ke arahnya. Mengajakku menemui pak Deny, sutradara “Pukul 2 Dini Hari”. Mereka semua menyalami Bram, pemeran utama yang berhasil bermain total dalam film tersebut. Semua menyanjungnya, semua bahagia akan kesuksesannya. Semua tertawa bersamanya.
Aku berbisik di telinganya, mohon diri untuk mengambil minum.
Dan sebuah sapaan memanggilku.
“Nisa..”
Aku menoleh untuk mencari dari mana suara itu berasal. Di tempat seperti ini, kecil kemungkinan orang-orang mengenaliku. Dan juga kecil kemungkinan jika seseorang nekad untuk memanggil iseng dan me-random sejumlah nama perempuan, namakulah yang pertama kali keluar. Aku membuat kesimpulan. Dia pasti mengenalku.
“Nisa..” Panggilan itu terdengar lagi. Dan aku pun menemukannya.
“Dony?” tanyaku. Lelaki itu tersenyum.
“Kamu cantik sekali,” pujinya. Aku tersipu.
“Jadi kamu di…?! Ah ya. Kamu pasti bersama Bram! Bramantyo Nugraha. Aktor itu? Dia kekasihmu? Well, good choice!” Ia tersenyum. Ada ketulusan di sana. Kontras sekali dengan kalimat yang dilontarkannya beberapa bulan yang lalu. Saat aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami yang tidak sehat. Aku mengangguk.
“Ceritanya panjang. Dan kamu sendiri?”
“Aku bersama Mayang.” Ia tersenyum. Sesuatu yang jarang kulihat darinya. Dony hanya tersenyum jika ia memang benar-benar bahagia. Selepasnya wajahnya flat. Datar. Mr Serious.
Aku menatap tampilanku di depan cermin. Memastikan tak ada bagian yang terlewat. Sebentar lagi Bram akan menjemputku. Hari ini pemutaran perdana film yang dibintanginya. Entah mengapa aku merasa berdebar. Mungkin karena ini pertama kalinya aku pergi dengannya dengan status sebagai kekasih. Kekasih beneran, nggak pura-pura kaya dulu lagi.
Sekelebat memori berputar di benakku. Tentang insiden Mona, tentang pacar pura-pura demi menghindari Tania, tentang latihan casting, juga tentang kebersamaan kami di warung bakso. Rasanya baru kemarin aku datang ke rumahnya dan menerima tawaran Bu Wati menjadi orang tua asuhku. Dan sebagai balas budi, aku menolongnya menjaga Bima -putra bungsunya- sementara Bu Wati, yang juga ibunda Bram, mengurus beberapa keperluan untuk usaha souvenir yang baru saja dirintisnya.
Sekarang, Bu Wati tidak lagi terlalu sibuk dan tugasku menjaga Bima pun sudah berakhir. Sebagai gantinya, aku magang di kantor Bu Wati menjadi staf administrasi.
Dan yang tak pernah kuduga sebelumnya, kedekatanku dengan Bram direspon positif. Bahkan kami berdua seakan dituntun untuk selalu berdekatan. Entahlah. Dulu mungkin aku tak terlalu percaya yang namanya love at the first sight. Tapi sejak awal aku melihatnya, ia memang sudah mencuri perhatianku.
Aku melirik jam di pergelangan tanganku. Sudah pukul tujuh malam. Bisa terlambat kalau kami tidak segera berangkat. Kuraih ponselku dan menekan nomor yang telah kuhafal di luar kepala. Wajah Bram nyengir menghiasi layar ponselku.
“Dan Mayang adalah…” aku menggantung kalimatku. Menggodanya. Ia tersenyum tersipu.
“Ya, Mayang kekasihku. Dan kamu pasti nggak akan percaya bagaimana awal kami berkenalan. Waktu itu aku mengantarkan adikku casting untuk iklan sebuah produk pasta gigi. Dan Mayang adalah salah satu peserta casting. Dia memerankan ibu. Aku juga nggak tahu sihir apa yang digunakannya. Senyumnya membuat aku jatuh hati sejak pertama kali melihatnya. Konyol ya?” Ia larut dalam memorinya.
Aku menatap kedua matanya yang kali ini kuyakin berpelangi. Aku tersenyum.
“Bukan Don. Bukan konyol. That’s what we called love. I’m happy for you. I do! Selamat ya!”
“Nisaa.. I hope you get your own happiness. Truly..”
“Thank you.. I am happy..! I do! Come on…!”
Dan aku menarik lengannya. Mengajaknya bergabung dengan Bram dan Mayang.
Cinta itu datang tanpa diundang, dan cinta itu ada di mana-mana. Tak jarang dari kebencian atau rutinitas yang dilakukan bersama-sama. Dan bukanlah sebuah kebetulan jika cinta menghampiriku saat aku menatap senyumannya.
Maka.. Tersenyumlah… Karena kau tidak akan pernah tahu kalau dengan senyummu akan membuat seseorang jatuh hati padamu..
“Iya. Sorry, barusan ada tamu. Iya. Tunggu aku ya, aku sedang menujumu.”. Suara bising sedikit terdengar, menandakan bahwa Bram memang benar-benar sedang dalam perjalanan.
Aku segera menutup telepon. Bagaimanapun juga, anjuran bapak polisi untuk tidak menelepon saat berkendara itu ada benarnya.
***
Tepat pukul 19.35 WIB kami tiba di lokasi. Alhamdulillah, masih ada waktu untuk berkenalan dengan beberapa teman Bram.
Suasana ramai sekali. Aku berusaha tampil sewajarnya. Jujur saja, suasana yang terlalu ramai memang membuatku sedikit tidak nyaman. Dan selama ini, aku lebih tertarik menghabiskan waktu di dalam kamarku sekedar membuat catatan kecil, menulis diary atau membaca novel-novel yang kupinjam dari perpustakaan dekat rumahku. Kalau pun pergi menonton di bioskop, itupun karena diajak Dony. Dan itu terjadi terakhir kalinya hampir setengah tahun yang lalu.
Bram menggamit lenganku, menarikku lebih dekat ke arahnya. Mengajakku menemui pak Deny, sutradara “Pukul 2 Dini Hari”. Mereka semua menyalami Bram, pemeran utama yang berhasil bermain total dalam film tersebut. Semua menyanjungnya, semua bahagia akan kesuksesannya. Semua tertawa bersamanya.
Aku berbisik di telinganya, mohon diri untuk mengambil minum.
Dan sebuah sapaan memanggilku.
“Nisa..”
Aku menoleh untuk mencari dari mana suara itu berasal. Di tempat seperti ini, kecil kemungkinan orang-orang mengenaliku. Dan juga kecil kemungkinan jika seseorang nekad untuk memanggil iseng dan me-random sejumlah nama perempuan, namakulah yang pertama kali keluar. Aku membuat kesimpulan. Dia pasti mengenalku.
“Nisa..” Panggilan itu terdengar lagi. Dan aku pun menemukannya.
“Dony?” tanyaku. Lelaki itu tersenyum.
“Kamu cantik sekali,” pujinya. Aku tersipu.
“Jadi kamu di…?! Ah ya. Kamu pasti bersama Bram! Bramantyo Nugraha. Aktor itu? Dia kekasihmu? Well, good choice!” Ia tersenyum. Ada ketulusan di sana. Kontras sekali dengan kalimat yang dilontarkannya beberapa bulan yang lalu. Saat aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami yang tidak sehat. Aku mengangguk.
“Ceritanya panjang. Dan kamu sendiri?”
“Aku bersama Mayang.” Ia tersenyum. Sesuatu yang jarang kulihat darinya. Dony hanya tersenyum jika ia memang benar-benar bahagia. Selepasnya wajahnya flat. Datar. Mr Serious.
Aku menatap tampilanku di depan cermin. Memastikan tak ada bagian yang terlewat. Sebentar lagi Bram akan menjemputku. Hari ini pemutaran perdana film yang dibintanginya. Entah mengapa aku merasa berdebar. Mungkin karena ini pertama kalinya aku pergi dengannya dengan status sebagai kekasih. Kekasih beneran, nggak pura-pura kaya dulu lagi.
Sekelebat memori berputar di benakku. Tentang insiden Mona, tentang pacar pura-pura demi menghindari Tania, tentang latihan casting, juga tentang kebersamaan kami di warung bakso. Rasanya baru kemarin aku datang ke rumahnya dan menerima tawaran Bu Wati menjadi orang tua asuhku. Dan sebagai balas budi, aku menolongnya menjaga Bima -putra bungsunya- sementara Bu Wati, yang juga ibunda Bram, mengurus beberapa keperluan untuk usaha souvenir yang baru saja dirintisnya.
Sekarang, Bu Wati tidak lagi terlalu sibuk dan tugasku menjaga Bima pun sudah berakhir. Sebagai gantinya, aku magang di kantor Bu Wati menjadi staf administrasi.
Dan yang tak pernah kuduga sebelumnya, kedekatanku dengan Bram direspon positif. Bahkan kami berdua seakan dituntun untuk selalu berdekatan. Entahlah. Dulu mungkin aku tak terlalu percaya yang namanya love at the first sight. Tapi sejak awal aku melihatnya, ia memang sudah mencuri perhatianku.
Aku melirik jam di pergelangan tanganku. Sudah pukul tujuh malam. Bisa terlambat kalau kami tidak segera berangkat. Kuraih ponselku dan menekan nomor yang telah kuhafal di luar kepala. Wajah Bram nyengir menghiasi layar ponselku.
“Dan Mayang adalah…” aku menggantung kalimatku. Menggodanya. Ia tersenyum tersipu.
“Ya, Mayang kekasihku. Dan kamu pasti nggak akan percaya bagaimana awal kami berkenalan. Waktu itu aku mengantarkan adikku casting untuk iklan sebuah produk pasta gigi. Dan Mayang adalah salah satu peserta casting. Dia memerankan ibu. Aku juga nggak tahu sihir apa yang digunakannya. Senyumnya membuat aku jatuh hati sejak pertama kali melihatnya. Konyol ya?” Ia larut dalam memorinya.
Aku menatap kedua matanya yang kali ini kuyakin berpelangi. Aku tersenyum.
“Bukan Don. Bukan konyol. That’s what we called love. I’m happy for you. I do! Selamat ya!”
“Nisaa.. I hope you get your own happiness. Truly..”
“Thank you.. I am happy..! I do! Come on…!”
Dan aku menarik lengannya. Mengajaknya bergabung dengan Bram dan Mayang.
Cinta itu datang tanpa diundang, dan cinta itu ada di mana-mana. Tak jarang dari kebencian atau rutinitas yang dilakukan bersama-sama. Dan bukanlah sebuah kebetulan jika cinta menghampiriku saat aku menatap senyumannya.
Maka.. Tersenyumlah… Karena kau tidak akan pernah tahu kalau dengan senyummu akan membuat seseorang jatuh hati padamu..
Komentar
Posting Komentar