onde2
Apa itu hidup?
Itu adalah satu pertanyaan yang selalu muncul di kepalaku.
Tapi sekeras apapun aku berpikir, aku tetap tidak mengerti.
Untuk apa sebenarnya aku berada disini? Untuk apa sebenarnya aku terus menjalani hari-hari yang selalu sama?
Aku tidak punya alasan untuk hidup, sampai akhirnya aku bertemu denganmu.
Akupun tahu kenapa aku selalu membuka mataku di pagi hari, lalu terlelap di malam hari hingga esoknya terbangun lagi.
Apa itu hidup?
Perlahan aku mulai mengetahui jawabannya.
Mungkin jawabanku terlalu sederhana dan berbeda dari kebanyakan orang.
Bagiku, hidupku adalah dirimu.
Tapi, bagaimana jika suatu hari kau pergi dan menghilang?
Apakah itu berarti aku juga kehilangan hidupku?
Aku tidak suka pertukaran bangku.
Sejak SD, aku terbiasa duduk dengan teman dekatku saja. Tapi kenapa sekarang di SMA harus ada pertukaran bangku? Terlebih lagi, di tahun-tahun terakhirku bersekolah.
Bukannya aku tidak ingin berteman, tapi aku hanya kesal kalau aku harus duduk dengan orang-orang yang menyebalkan.
Seperti sekarang ini.
“Bi, pinjam bolpoin dong!”
“Buku teksku ketinggalan nih, boleh lihat?.”
“Udah buat PR kan, Bi? Bagi jawaban dong.”
“Tadi Pak Guru ngomong apa, Bi?”
“Eh, jawaban yang nomor 12 apaan sih?”
“Malas nyatat nih, nanti pinjam catatanmu ya Bi!”
Keningku berkerut mendengar celotehan orang disebelahku yang kesekian kalinya untuk hari ini.
“Jangan panggil ‘Bi’ terus kenapa sih? Memangnya babi? Panggil aku Bitha, jangan setengah-setengah.” Gerutuku akhirnya.
Ken, laki-laki menyebalkan itu malah tersenyum lebar tanpa dosa.
“Nggak apa-apa dong, Bi. Kan kita duduk sebelahan, harus lebih akrab.” Ucapnya.
Aku mengibaskan tanganku tidak peduli, lalu melanjutkan mencatat materi yang ada di papan.
Kenapa banyak sekali? Guru Sejarah ini memang tidak pernah lelah memberi siswanya catatan.
“Bi, coba lihat deh.”
Meskipun kesal karena mendengar suara itu lagi, aku tetap menoleh juga.
Sebelum aku sepenuhnya sadar bahwa kami sedang ada di tengah-tengah jam pelajaran Sejarah, aku berteriak sekencang mungkin dengan nada yang entah berapa oktaf.
Ken, laki-laki sialan ini menaruh binatang paling menjijikkan di atas mejaku. Cicak.
Sekarang dia malah tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi panikku, dan juga mendengar teguran dari Pak Guru Sejarah.
“Kenapa kalian malah main-main di tengah pelajaran saya? Sekarang juga, berdiri di koridor!”
***
Sementara teman-teman yang lain sudah pulang kerumah menggandeng tas masing-masing, aku masih harus mengerjakan essay hukuman di perpustakaan.
Moodku sudah cukup buruk dengan hukuman di koridor tadi, kenapa harus ada tambahan tugas juga? Sepertinya hari ini memang benar-benar sial.
“Jangan ngambek, Bi. Tadi aku cuma bercanda, benar deh.” Ujar Ken dengan tatapan memelas.
Aku balas menatapnya dengan tatapan tidak bersahabat. “Nggak usah ajak aku ngomong.”
Sepertinya Ken bisa mengerti seberapa marahnya aku, karena setelah itu ia tidak mengeluarkan suara sedikitpun.
Aku melanjutkan essayku yang sudah setengah halaman portofolio.
Saya berjanji tidak akan berteriak pada saat jam pelajaran lagi. Saya berjanji tidak akan berteriak pada saat jam pelajaran lagi. Saya berjanji tidak akan berteriak pada saat jam pelajaran lagi. Saya berjanji……
Setelah beberapa saat tenggelam dalam kalimat-kalimat itu, aku merasakan sentuhan di bahuku.
Meskipun kesal, lagi-lagi aku tetap menoleh.
Ken menuliskan sesuatu di kertas, lalu memberikannya padaku.
Sorry?
Tiba-tiba saja aku merasa konyol melihat Ken yang biasanya tidak tahu aturan dan seenaknya, meminta maaf padaku seperti anak kecil. Aku ingin tertawa tapi berusaha menahannya, dan akhirnya bibirku malah membentuk lengkungan kecil tanpa bisa kucegah.
Mungkin duduk disebelahnya tidaklah seburuk itu.
***
Pagi ini, jam pelajaran pertama adalah olahraga. Salah satu pelajaran yang bisa dibilang bukan favoritku.
Aku bukanlah jenis orang yang kuat dan tahan lelah dengan kegiatan fisik, apalagi lari. Bahkan, sewaktu SMP aku pernah pingsan kelelahan setelah berlari keliling lapangan dua puluh kali.
Sekarang, aku hanya berharap pelajaran ini cepat berakhir.
“Bitha, coba lihat itu!” seru Fiona, sahabatku. Kenapa ia tiba-tiba heboh?
“Ada apa?” sahutku, lalu mengedarkan pandanganku ke arah lapangan. Beberapa siswa laki-laki sedang berlari disana.
Akupun langsung mengenali sosoknya.
Ken berlari paling depan dengan bersemangat. Ia memimpin siswa-siswa lainnya.
Satu hal yang baru kuketahui, kelebihan Ken adalah berlari.
Ketika Ken berlari, Ia seolah-olah terbang dengan bebas mengikuti angin. Tubuhnya ringan dan lincah.
Tanpa kusadari, aku tidak bisa berhenti menatapnya.
“Tuh, teman sebangkumu keren banget.” gumam Fiona disebelahku, menyadarkanku yang sedari tadi masih menatap Ken.
Aku tertawa mendengar pujian Fiona, namun dalam hati menyetujuinya.
Tiba-tiba saja Ken yang sudah selesai berlari berjalan ke arahku, membuat Fiona dan siswa-siswa perempuan yang lain langsung heboh.
Aku sendiri merasakan jantungku mulai berdegup tidak seperti biasanya. Kenapa ini?
Sebelum aku sempat membayangkan hal-hal yang tidak masuk akal, Ken membuka mulutnya.
“Bi, haus nih. Bagi air, dong.”
***
Mungkin karena sudah terbiasa, sekarang aku tidak merasa terganggu lagi dengan keisengan Ken.
Aku membiarkannya meminjam bolpoin-bolpoinku, meskipun ia akan menghilangkan tutupnya, atau bahkan bolpoinnya juga.
Aku juga membiarkannya melihat buku teksku ketika ia lupa membawa miliknya, membiarkannya meminjam catatanku berhari-hari karena ia malas mencatat, dan mencontek PR-PRku.
Aku juga sudah tidak mempermasalahkan panggilan ‘Bi’ yang Ia berikan.
Semakin lama, aku semakin tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya kurasakan padanya.
Debaran-debaran atau perasaan senang setiap kali aku berada di dekatnya terasa konyol bagiku.
Apa mungkin aku bisa menyukai seseorang sepertinya?
Aku merasakan ponsel di genggamanku bergetar, membuyarkan lamunanku di malam hari. Kulihat nama Ken tertera di layar.
Lagi-lagi aku tersenyum.
“Halo?”
“Bi, sudah mau tidur?” tanya Ken langsung.
“Belum, sih. Memang kenapa?”
“Aku nggak bisa tidur nih.”
“Hitungin domba aja.” celetukku asal.
“Sudah, nggak mempan.”
Aku tertawa. “Memangnya kalau nelepon aku bisa bikin kamu tidur?”
“Nggak sih, mimpi buruk malah.” Sahutnya, lagi-lagi bersikap menyebalkan. “Bi, coba lihat keluar deh.”
Aku membuka jendela kamarku lalu mendongak.
Malam ini, di langit terlihat banyak bintang bersinar. Di kota yang padat, sangat jarang aku bisa melihat bintang di langit.
“Wah..” gumamku tanpa sadar.
“Bagus, kan?”
“Iya. Sudah lama aku nggak lihat bintang.”
“Bi, kalau malam ini ada bintang jatuh, apa permohonanmu?”
Aku berpikir sejenak. “Hmm, terlalu banyak. Nggak bisa disebutin satu-satu. Memang apa permohonanmu?”
“Kalau aku sih, sederhana.” Sahut Ken. “ I just want to be happy.”
Aneh. Aku menyadari ada kesedihan di nada suara Ken.
Meskipun selama ini Ken bersikap menyebalkan dan sering tertawa, mungkin aku tidak cukup tahu banyak tentang dirinya.
Ia bahkan hampir tidak pernah bercerita mengenai hidupnya, ataupun keluarganya.
Kenapa Ken tidak pernah bercerita apa-apa?
Itu adalah satu pertanyaan yang selalu muncul di kepalaku.
Tapi sekeras apapun aku berpikir, aku tetap tidak mengerti.
Untuk apa sebenarnya aku berada disini? Untuk apa sebenarnya aku terus menjalani hari-hari yang selalu sama?
Aku tidak punya alasan untuk hidup, sampai akhirnya aku bertemu denganmu.
Akupun tahu kenapa aku selalu membuka mataku di pagi hari, lalu terlelap di malam hari hingga esoknya terbangun lagi.
Apa itu hidup?
Perlahan aku mulai mengetahui jawabannya.
Mungkin jawabanku terlalu sederhana dan berbeda dari kebanyakan orang.
Bagiku, hidupku adalah dirimu.
Tapi, bagaimana jika suatu hari kau pergi dan menghilang?
Apakah itu berarti aku juga kehilangan hidupku?
Aku tidak suka pertukaran bangku.
Sejak SD, aku terbiasa duduk dengan teman dekatku saja. Tapi kenapa sekarang di SMA harus ada pertukaran bangku? Terlebih lagi, di tahun-tahun terakhirku bersekolah.
Bukannya aku tidak ingin berteman, tapi aku hanya kesal kalau aku harus duduk dengan orang-orang yang menyebalkan.
Seperti sekarang ini.
“Bi, pinjam bolpoin dong!”
“Buku teksku ketinggalan nih, boleh lihat?.”
“Udah buat PR kan, Bi? Bagi jawaban dong.”
“Tadi Pak Guru ngomong apa, Bi?”
“Eh, jawaban yang nomor 12 apaan sih?”
“Malas nyatat nih, nanti pinjam catatanmu ya Bi!”
Keningku berkerut mendengar celotehan orang disebelahku yang kesekian kalinya untuk hari ini.
“Jangan panggil ‘Bi’ terus kenapa sih? Memangnya babi? Panggil aku Bitha, jangan setengah-setengah.” Gerutuku akhirnya.
Ken, laki-laki menyebalkan itu malah tersenyum lebar tanpa dosa.
“Nggak apa-apa dong, Bi. Kan kita duduk sebelahan, harus lebih akrab.” Ucapnya.
Aku mengibaskan tanganku tidak peduli, lalu melanjutkan mencatat materi yang ada di papan.
Kenapa banyak sekali? Guru Sejarah ini memang tidak pernah lelah memberi siswanya catatan.
“Bi, coba lihat deh.”
Meskipun kesal karena mendengar suara itu lagi, aku tetap menoleh juga.
Sebelum aku sepenuhnya sadar bahwa kami sedang ada di tengah-tengah jam pelajaran Sejarah, aku berteriak sekencang mungkin dengan nada yang entah berapa oktaf.
Ken, laki-laki sialan ini menaruh binatang paling menjijikkan di atas mejaku. Cicak.
Sekarang dia malah tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi panikku, dan juga mendengar teguran dari Pak Guru Sejarah.
“Kenapa kalian malah main-main di tengah pelajaran saya? Sekarang juga, berdiri di koridor!”
***
Sementara teman-teman yang lain sudah pulang kerumah menggandeng tas masing-masing, aku masih harus mengerjakan essay hukuman di perpustakaan.
Moodku sudah cukup buruk dengan hukuman di koridor tadi, kenapa harus ada tambahan tugas juga? Sepertinya hari ini memang benar-benar sial.
“Jangan ngambek, Bi. Tadi aku cuma bercanda, benar deh.” Ujar Ken dengan tatapan memelas.
Aku balas menatapnya dengan tatapan tidak bersahabat. “Nggak usah ajak aku ngomong.”
Sepertinya Ken bisa mengerti seberapa marahnya aku, karena setelah itu ia tidak mengeluarkan suara sedikitpun.
Aku melanjutkan essayku yang sudah setengah halaman portofolio.
Saya berjanji tidak akan berteriak pada saat jam pelajaran lagi. Saya berjanji tidak akan berteriak pada saat jam pelajaran lagi. Saya berjanji tidak akan berteriak pada saat jam pelajaran lagi. Saya berjanji……
Setelah beberapa saat tenggelam dalam kalimat-kalimat itu, aku merasakan sentuhan di bahuku.
Meskipun kesal, lagi-lagi aku tetap menoleh.
Ken menuliskan sesuatu di kertas, lalu memberikannya padaku.
Sorry?
Tiba-tiba saja aku merasa konyol melihat Ken yang biasanya tidak tahu aturan dan seenaknya, meminta maaf padaku seperti anak kecil. Aku ingin tertawa tapi berusaha menahannya, dan akhirnya bibirku malah membentuk lengkungan kecil tanpa bisa kucegah.
Mungkin duduk disebelahnya tidaklah seburuk itu.
***
Pagi ini, jam pelajaran pertama adalah olahraga. Salah satu pelajaran yang bisa dibilang bukan favoritku.
Aku bukanlah jenis orang yang kuat dan tahan lelah dengan kegiatan fisik, apalagi lari. Bahkan, sewaktu SMP aku pernah pingsan kelelahan setelah berlari keliling lapangan dua puluh kali.
Sekarang, aku hanya berharap pelajaran ini cepat berakhir.
“Bitha, coba lihat itu!” seru Fiona, sahabatku. Kenapa ia tiba-tiba heboh?
“Ada apa?” sahutku, lalu mengedarkan pandanganku ke arah lapangan. Beberapa siswa laki-laki sedang berlari disana.
Akupun langsung mengenali sosoknya.
Ken berlari paling depan dengan bersemangat. Ia memimpin siswa-siswa lainnya.
Satu hal yang baru kuketahui, kelebihan Ken adalah berlari.
Ketika Ken berlari, Ia seolah-olah terbang dengan bebas mengikuti angin. Tubuhnya ringan dan lincah.
Tanpa kusadari, aku tidak bisa berhenti menatapnya.
“Tuh, teman sebangkumu keren banget.” gumam Fiona disebelahku, menyadarkanku yang sedari tadi masih menatap Ken.
Aku tertawa mendengar pujian Fiona, namun dalam hati menyetujuinya.
Tiba-tiba saja Ken yang sudah selesai berlari berjalan ke arahku, membuat Fiona dan siswa-siswa perempuan yang lain langsung heboh.
Aku sendiri merasakan jantungku mulai berdegup tidak seperti biasanya. Kenapa ini?
Sebelum aku sempat membayangkan hal-hal yang tidak masuk akal, Ken membuka mulutnya.
“Bi, haus nih. Bagi air, dong.”
***
Mungkin karena sudah terbiasa, sekarang aku tidak merasa terganggu lagi dengan keisengan Ken.
Aku membiarkannya meminjam bolpoin-bolpoinku, meskipun ia akan menghilangkan tutupnya, atau bahkan bolpoinnya juga.
Aku juga membiarkannya melihat buku teksku ketika ia lupa membawa miliknya, membiarkannya meminjam catatanku berhari-hari karena ia malas mencatat, dan mencontek PR-PRku.
Aku juga sudah tidak mempermasalahkan panggilan ‘Bi’ yang Ia berikan.
Semakin lama, aku semakin tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya kurasakan padanya.
Debaran-debaran atau perasaan senang setiap kali aku berada di dekatnya terasa konyol bagiku.
Apa mungkin aku bisa menyukai seseorang sepertinya?
Aku merasakan ponsel di genggamanku bergetar, membuyarkan lamunanku di malam hari. Kulihat nama Ken tertera di layar.
Lagi-lagi aku tersenyum.
“Halo?”
“Bi, sudah mau tidur?” tanya Ken langsung.
“Belum, sih. Memang kenapa?”
“Aku nggak bisa tidur nih.”
“Hitungin domba aja.” celetukku asal.
“Sudah, nggak mempan.”
Aku tertawa. “Memangnya kalau nelepon aku bisa bikin kamu tidur?”
“Nggak sih, mimpi buruk malah.” Sahutnya, lagi-lagi bersikap menyebalkan. “Bi, coba lihat keluar deh.”
Aku membuka jendela kamarku lalu mendongak.
Malam ini, di langit terlihat banyak bintang bersinar. Di kota yang padat, sangat jarang aku bisa melihat bintang di langit.
“Wah..” gumamku tanpa sadar.
“Bagus, kan?”
“Iya. Sudah lama aku nggak lihat bintang.”
“Bi, kalau malam ini ada bintang jatuh, apa permohonanmu?”
Aku berpikir sejenak. “Hmm, terlalu banyak. Nggak bisa disebutin satu-satu. Memang apa permohonanmu?”
“Kalau aku sih, sederhana.” Sahut Ken. “ I just want to be happy.”
Aneh. Aku menyadari ada kesedihan di nada suara Ken.
Meskipun selama ini Ken bersikap menyebalkan dan sering tertawa, mungkin aku tidak cukup tahu banyak tentang dirinya.
Ia bahkan hampir tidak pernah bercerita mengenai hidupnya, ataupun keluarganya.
Kenapa Ken tidak pernah bercerita apa-apa?
Komentar
Posting Komentar