Aku, yang Seharusnya Pergi
u tersenyum. Senyum yang selalu membuat sekelilingku percaya bahwa keadaanku 'baik-baik saja'. Aku tidak pernah menggabarkan bahwa diriku sedang larut dalam kesedihan atau anak muda zaman sekarang disebut galau. Maka dari itu mereka mengira hidupku seperti fairy tale. Mereka mengira hidupku bagaikan Cinderella. All perfect. Tapi kenyataannya? Hanya aku yang tahu.
Ini sebuah rahasia, aku mohon kamu tidak berkata apapun kepada siapapun tentang apapun yang kamu dengar dariku detik ini juga.
Aku...
Menyukai...
Dia.
Sudah kubilang, jangan biarkan orang lain tahu tentang rahasia ini. Cukup Tuhan, aku, dan kamu saja yang tahu. Semakin banyak orang yang tahu tentu akan gawat bukan? Jadi.. Aku akan mengunci rapat-rapat mulutmu dan takkan ku biarkan kamu menyebarkannya.
Dia.
3 kata. Orang itu sungguh sempurna di mataku. Tawanya, senyumnya, cara dia memandang. Ah siapa orang yang tidak suka kepadanya? Pikirku selalu di dalam hati ketika melihatnya. Aku ingat di luar kepala bagaimana cara dia berjalan, bagaimana cara dia menggelengkan kepalanya sehingga rambut di belakangnya ikut bergoyang. Apakah salah bahwa kenyataannya aku menyukainya? Tentu tidak, bukan? Justru ini membuktikan bahwa aku normal, aku menyukai lawan jenisku. Kalian tak perlu kabur karena takut akan ku kencani satu persatu.
Dia....
Terlalu jauh untuk ku tarik, terlalu tinggi untuk ku gapai, terlalu sulit untuk ku dapatkan. Aku takkan pernah bisa mendapatkanmu. Bagaimana aku bisa tahu? Ah, tentu saja semua orang tahu. Dia adalah seniorku. Senior yang mempunyai banyak admirer di setiap penjuru. Bagaiman denganku yang ikut bersama mereka? Apakah aku harus bersaing dengan orang-orang yang sama menyukai dirinya? Aku pun bercermin. Huft.
Semua orang tahu bagaimana perjuanganku ingin mendapatkanmu, perjuanganku agar kamu menyadari keberadaanku, perjuanganku agar kamu sekali saja menoleh ke arahku. Itu sungguh sulit. Tak pernah ku bayangkan aku akan mengalami hal ini. Sungguh. Aku malah suka menertawakan mereka yang melakukan hal-hal konyol seperti ini. Mengharapkan yang tidak akan pernah terjadi. Tapi sekarang, justru semua berbalik kepadaku. Dan ini jauh lebih sulit. Dan... Sungguh menyakitkan. Kata-katamu yang berusaha menyayat hatiku, tapi aku tetap berdiri tegak di sini dengan senyumku.
Aku tak pernah peduli dengan hal konyol yang selalu aku lakukan baik di hadapanmu atau tidak. Rasa peduliku terhadapmu terlalu besar hingga aku tak memperdulikkan sekeliling. Aku terlalu pengecut, apa kamu lebih pengecut? Tentu saja tidak. Di sini tokoh utamanya aku, pasti aku yang salah. Mungkin kalau ceritaku dibuat sinetron, aku akan langsung di tendang dari rumah produksi. Cara akting untuk berpura-pura tidak peduli kepadamu sangat payah. Apalagi kalau kamu sudah berada di sini, di hadapanku. Tapi aku selalu berusaha untuk tidak melirik ke arahmu.
Aku hanya bisa memandangnya dari jauh, itu sudah cukup bagiku. Waktu dulu. Tidak untuk sekarang. Sekarang aku akan melangakah ke arah lain, melawan arus. Melawan hati ini yang ingin terus bersamamu dengan pergi meninggalkamu walau sebenarnya kamu itu bukan siapa-siapa. Aku yang seharusnya pergi dari sini. Meninggalkan bekas luka di hati, dengan perasaan masih ingin memilikimu. Dengan perlahan, aku menarik nafas dalam-dalam. Ah, sialan. Justru ini membuatku semakin ingin menangis. Dingin. Nyeri. Pilu. Sakit sekali. Sungguh aku tidak pernah meminta balasan apapun dari dirinya. Justru aku hanya ingin dia menyadari keberadaanku. Sudah cukup dengan pengakuan itu. Aku terlalu egois? Apa dia yang terlalu egois?
Dengan kekuatan penuh, 180 km/jam, aku membanting stir ini dan melawan arus. Menabrak seluruh halangan dari arah berlawanan. Aku tak peduli. Meski rasa sakit yang akan aku terima lebih banyak, asal itu membuatku jauh darimu. Asal itu membuatku tak mengingatmu kembali. Aku akan berusaha menutup cerita ini. Takkan ada cerita serupa lagi. Tak adalagi cerita tentangnya. Sudah sampai di sini.
Ini bukan cerita, apalagi dongeng sebelum tidur. Ini adalah sebuah kisah dimana sang perempuan menunggu pangerannya datang. Ia tidak menunggu pangeran dengan kuda putih, tetapi ia menunggu pangeran dengan kura-kura. Nah, semoga saja perempuan ini menemukan pangeran yang selama ini ia cari
Ini sebuah rahasia, aku mohon kamu tidak berkata apapun kepada siapapun tentang apapun yang kamu dengar dariku detik ini juga.
Aku...
Menyukai...
Dia.
Sudah kubilang, jangan biarkan orang lain tahu tentang rahasia ini. Cukup Tuhan, aku, dan kamu saja yang tahu. Semakin banyak orang yang tahu tentu akan gawat bukan? Jadi.. Aku akan mengunci rapat-rapat mulutmu dan takkan ku biarkan kamu menyebarkannya.
Dia.
3 kata. Orang itu sungguh sempurna di mataku. Tawanya, senyumnya, cara dia memandang. Ah siapa orang yang tidak suka kepadanya? Pikirku selalu di dalam hati ketika melihatnya. Aku ingat di luar kepala bagaimana cara dia berjalan, bagaimana cara dia menggelengkan kepalanya sehingga rambut di belakangnya ikut bergoyang. Apakah salah bahwa kenyataannya aku menyukainya? Tentu tidak, bukan? Justru ini membuktikan bahwa aku normal, aku menyukai lawan jenisku. Kalian tak perlu kabur karena takut akan ku kencani satu persatu.
Dia....
Terlalu jauh untuk ku tarik, terlalu tinggi untuk ku gapai, terlalu sulit untuk ku dapatkan. Aku takkan pernah bisa mendapatkanmu. Bagaimana aku bisa tahu? Ah, tentu saja semua orang tahu. Dia adalah seniorku. Senior yang mempunyai banyak admirer di setiap penjuru. Bagaiman denganku yang ikut bersama mereka? Apakah aku harus bersaing dengan orang-orang yang sama menyukai dirinya? Aku pun bercermin. Huft.
Semua orang tahu bagaimana perjuanganku ingin mendapatkanmu, perjuanganku agar kamu menyadari keberadaanku, perjuanganku agar kamu sekali saja menoleh ke arahku. Itu sungguh sulit. Tak pernah ku bayangkan aku akan mengalami hal ini. Sungguh. Aku malah suka menertawakan mereka yang melakukan hal-hal konyol seperti ini. Mengharapkan yang tidak akan pernah terjadi. Tapi sekarang, justru semua berbalik kepadaku. Dan ini jauh lebih sulit. Dan... Sungguh menyakitkan. Kata-katamu yang berusaha menyayat hatiku, tapi aku tetap berdiri tegak di sini dengan senyumku.
Aku tak pernah peduli dengan hal konyol yang selalu aku lakukan baik di hadapanmu atau tidak. Rasa peduliku terhadapmu terlalu besar hingga aku tak memperdulikkan sekeliling. Aku terlalu pengecut, apa kamu lebih pengecut? Tentu saja tidak. Di sini tokoh utamanya aku, pasti aku yang salah. Mungkin kalau ceritaku dibuat sinetron, aku akan langsung di tendang dari rumah produksi. Cara akting untuk berpura-pura tidak peduli kepadamu sangat payah. Apalagi kalau kamu sudah berada di sini, di hadapanku. Tapi aku selalu berusaha untuk tidak melirik ke arahmu.
Aku hanya bisa memandangnya dari jauh, itu sudah cukup bagiku. Waktu dulu. Tidak untuk sekarang. Sekarang aku akan melangakah ke arah lain, melawan arus. Melawan hati ini yang ingin terus bersamamu dengan pergi meninggalkamu walau sebenarnya kamu itu bukan siapa-siapa. Aku yang seharusnya pergi dari sini. Meninggalkan bekas luka di hati, dengan perasaan masih ingin memilikimu. Dengan perlahan, aku menarik nafas dalam-dalam. Ah, sialan. Justru ini membuatku semakin ingin menangis. Dingin. Nyeri. Pilu. Sakit sekali. Sungguh aku tidak pernah meminta balasan apapun dari dirinya. Justru aku hanya ingin dia menyadari keberadaanku. Sudah cukup dengan pengakuan itu. Aku terlalu egois? Apa dia yang terlalu egois?
Dengan kekuatan penuh, 180 km/jam, aku membanting stir ini dan melawan arus. Menabrak seluruh halangan dari arah berlawanan. Aku tak peduli. Meski rasa sakit yang akan aku terima lebih banyak, asal itu membuatku jauh darimu. Asal itu membuatku tak mengingatmu kembali. Aku akan berusaha menutup cerita ini. Takkan ada cerita serupa lagi. Tak adalagi cerita tentangnya. Sudah sampai di sini.
Ini bukan cerita, apalagi dongeng sebelum tidur. Ini adalah sebuah kisah dimana sang perempuan menunggu pangerannya datang. Ia tidak menunggu pangeran dengan kuda putih, tetapi ia menunggu pangeran dengan kura-kura. Nah, semoga saja perempuan ini menemukan pangeran yang selama ini ia cari
Komentar
Posting Komentar