pacarku ada 5
Merayap pelan di Jalan Katamso saat jam bubar
sekolah merupakan pelatihan observasi yang baik. Seolah mengamati dunia dalam
mikroskop, kecepatan lambat memungkinkan kita menangkap dengan detail jalanan
yang berlubang, trotoar yang hancur, angkot yang mengulur waktu untuk menelan
penumpang sebanyak-banyaknya, pedagang kaki lima yang bersesak memepet jalan
aspal, dan manusia… lautan manusia.
Di balik
kerumunan atap rumah, menyembul matahari yang membola sempurna. Oranye. Mata
saya seketika melengak ke atas, sejenak meninggalkan pemandangan Jalan Katamso
yang menguji kesabaran mental. Langit berwarna-warni khas senja. Campur aduk
antara kelabu, biru, ungu, merah jambu, jingga. Seketika saya bersua dengan
sebuah rasa tak bernama. Kemurnian, barangkali deskripsi paling mendekati.
Banyak hal
yang membuat kita jatuh cinta pada hidup. Berkali-kali. Tak akan terukur dan
tertakar akal mengapa kita jutaan kali mati dan lahir, seolah tak berakhir.
Sesuatu dalam mortalitas ini mengundang kita untuk kembali, dan kembali lagi.
Sesuatu dalam dunia materi, jasad, partikel, mengundang jiwa kita menjemput
tubuh untuk ditumpangi dan kembali mengalami.
Dalam
keadaan mabuk asmara, kita akan merasa lahir untuk seseorang yang kita cinta.
Dalam keadaan terinspirasi, kita merasa lahir untuk berkarya dan mencipta.
Seorang ibu, dalam puncak kebahagiaannya, akan merasa lahir untuk melahirkan
buah hatinya. Untuk beragam alasan, kita jatuh hati pada hidup dan kehidupan.
Cinta yang barangkali juga datang dan pergi sesuai dengan situasi yang terus
berganti.
Langit senja
di jalanan macet ini menggerakkan saya untuk menelusuri cinta yang nyaris tak
terganti, yang meski hidup sedang busuk dan menyebalkan, saya tahu kemurnian
ini selalu menyertai jiwa saya. Untuk hal-hal inilah jiwa saya tergoda untuk
kembali, dan kembali. Atau, minimal, hal-hal ini menjadi jaminan penghiburan
jiwa saya selagi menjalani berbagai peran dan ragam drama yang harus dimainkan
dalam hidup. Dan inilah daftar tersebut, dalam susunan acak:
Langit
senja. Tertawa. Minum air putih. Suara hujan. Bergandengan tangan.
Dalam kelima
hal itu, ada kemurnian yang selalu menjemput jiwa saya untuk sejenak bersuaka.
Riak dan gelombang boleh turun dan pasang, pasangan saya boleh berganti,
sehat-sakit-susah-senang boleh bergilir ambil posisi, tapi ada keindahan yang
bergeming saat saya masih diizinkan untuk menatap langit senja, untuk tertawa
lepas, untuk mengalirkan air putih segar lewat tenggorokan, untuk mendengar
derai hujan yang beradu dengan bumi, untuk merasakan hangat kulit manusia lain
lewat genggaman. Sederhana memang, sama halnya dengan semua penelusuran pelik
yang biasanya berakhir pada penjelasan sederhana.
Sungguh saya
tergoda berkata, kelima hal itu adalah kekasih saya sesungguhnya. Pacar-pacar
gelap tapi tetap, yang dicumbu jiwa saya saat menjalin kasih dengan dunia
materi dan sensasi ini. Bahkan kemacetan bubar sekolah di Jalan Kata Satu
Halaman – Satu Jam
Komentar
Posting Komentar