diAM (Jembatan Merah)

John masih duduk terdiam di sisi jembatan merah itu. Ia merenung, memikirkan janji yang telah diucapkannya kepada kekasihnya, Marry. Tiang-tiang penyangga jembatan menjadi saksi bisu berapa lama John berdiri di tempat itu. Mungkin bila jembatan itu bisa berpikir, ia akan heran mengapa setiap sore selalu ada pemuda yang berdiri diam di sana.
Setahun yang lalu, setiap selesai kegiatan perkuliahan di kampusnya, John selalu megantarkan Marry menuju rumahnya yang tak begitu jauh dari kampus. Senyuman kecil tersungging di bibirnya yang kering kala mengingat indahnya saat mereka bersama. Bayang-bayang Marry yang ceria dan selalu saja memiliki cerita membuat harinya bersama wanita itu terasa menyenangkan.

*******

“John, aku cinta kamu” kata Marry dengan lantang, diiringi senyum renyahnya yang indah.
“Aku juga” John membalas sambil merangkulkan tangannya ke pundak Marry.
“Aku suka saat seperti ini John, memandangi langit di tepian danau. Memang tidak terlihat bintang-bintang yang indah, tapi.....”
“Tapi apa?” tanya John dengan penasaran.
“Tapi aku senang ada kamu di sini John, tak perlu ada bintang, karena indahnya di saat ini sudah melebihi indahnya bintang-bintang saat musim panas, kau tentu tahu bahwa di musim panas bintang-bintang sangat terlihat karena langit yang cerah” kata Marry.
Kalimat gombal itu ternyata cukup untuk membuat wajah John menjadi merah. Marry tertawa kecil karena berhasil membuat kekasihnya itu tersipu malu. Sejenak ia memandang wajah John lekat-lekat. John membalas pandangan itu dan tersenyum, yang seketika itu juga dibalas oleh Marry dengan senyuman yang lebih lebar sembari menyandarkan kepalanya di bahu John.
“Aku harap kita bisa selalu bersama Marry, akan kukenalkan kau dengan orangtuaku. Ayah pasti senang saat tahu aku memiliki seorang kekasih yang cantik dan ceria sepertimu”
“Haha, aku siap John, kapanpun aku siap untuk kaukenalkan dengan orangtuamu. Tapi, apakah kau berani menghadap orangtuaku dan mengenalkan dirimu sebagai kekasihku? Aku ragu” ucap Marry sambil tertawa kecil.
John tertawa, lalu ia mencubit pipi sang kekasih dengan kedua tangannya. Marry menunjukkan wajah marah, sambil tangannya bersiap untuk membalas cubitan John. John tahu ia berada dalam bahaya, seketika ia sudah bangkit dan berlari menjauh. Marry ikut bangkit dan mengejar John sambil tangannya menenteng tas hijau muda kesukaannya.
“Akan kubalas kau John, jangan pikir kau akan lolos dengan mudah”
“Tak akan lolos dengan mudah? Berarti tetap lolos kan? Haha” balas John sambil menjulurkan lidahnya tanda meledek.
John berlari ke arah jembatan merah, jembatan yang menghubungkan kampus dengan pemukiman penduduk. Marry mengejar lelaki itu, belum sampai 20 meter ia mengejar, kelelahan melandanya dan memaksa ia beristirahat. Tangannya bersandar pada lututnya dan nafasnya terengah-engah. John yang melihat itu segera menghampiri Marry dan menjulurkan tangannya.
“Ayo, sudah malam, saatnya kita pulang” kata John sambil tersenyum.
“Kau curang John” kata Marry sembari memberikan tangannya pada John.
Merekapun berjalan sambil bergandengan tangan. Marry yang ceria itu tidak berhenti bersenandung sambil mengayunkan tangannya. John tertawa melihat tingkah kekasihnya itu. Tak terbayangkan bila ia harus melalui hari tanpa Marry, pasti akan sangat sepi.
Kedua sejoli itu terus berjalan menyeberangi jembatan merah itu. Hingga di penghujung jembatan, raut wajah Marry seketika berubah dan tampak serius. John yang menyadari perubahan itu mengernyitkan dahinya dan memandang wajah Marry.
“Ada apa, dear? Ada sesuatu yang sedang kau pikirkan?”
“John, aku ingin kau berjanji, kau akan selalu mengantarku pulang seperti ini. Aku tak ingin seharipun tanpamu. Lagipula, orangtuaku khawatir bila aku pulang sendirian.”
“Apapun akan kulakukan untukmu Marry. Aku akan menunggumu di sisi jembatan ini setiap sore. Jadi, bila kau ingin pulang, aku akan selalu ada di situ” jawab John sambil tersenyum.
“Terima kasih John, terima kasih telah menjadi penjagaku” balas Marry sambil tersenyum dan lenyaplah raut wajah seriusnya.

*******

Hari telah semakin senja, matahari telah bersiap kembali ke tempat pergumulannya. Mega merah telah terlihat di ufuk barat dan gagak-gagak beterbangan di angkasa, suaranya menimbulkan suasana sore yang khas. Sementara John masih sibuk dengan lamunannya. Hingga akhirnya air mata membasahi pipi John, ia menangis tersedu. John tak peduli pada pandangan heran dari beberapa orang yang melalui jembatan itu.
“Oh dear, mengapa kau pergi secepat ini? Aku bahkan belum mengenalkan diriku kepada orangtuamu” ucap John sambil sesunggukkan.
“Marry, aku di sini, semenjak kepergianmu sebulan yang lalu, aku selalu menunggumu”
Tangisan John semakin keras, ia benar-benar lupa bahwa tempat ia menangis itu merupakan jalan yang banyak dilalui orang. Hingga ada beberapa mahasiswa pengguna jembatan itu yang merasa iba padanya. Tetapi setiap ia ditanya mengapa menangis, ia hanya tersenyum dan diam tanpa sepatah katapun.
Malampun menunjukkan dirinya, menghembuskan angin hangat meresahkan Bintang-bintang mulai berhamburan di langit, tak tampak awan sedikitpun. John berjalan ke taman di sebelah jembatan, lalu ia duduk di sana, memandang langit yang indah, di musim panas ini.

TAMAT

Komentar

Postingan populer dari blog ini

kisah hidup kakashi hatake

Puisi Joko Pinurbo

PENGGUNAAN KATA YANG SALAH KAPRAH DALAM BAHASA INDONESIA